CHAPTER 22: THE RHETORIC


Source : A First Look at Communication Theory (By : Em Griffin)

Aristoteles adalah murid Plato di zaman keemasan peradaban Yunani, empat abad sebelum kelahiran Kristus. Sikap skeptisnya dicerminkan dengan cara negatif orang-orang menggunakan istilah retorika belaka untuk memberi label pidato tentang pengacara-pengacara rumit, politisi-politisi bermulut bersih, pengkhotbah yang memukau, dan para penjual yang berbicara cepat.
Aristoteles melihat bahwa rhetoric sebagai alat, adalah cara alami agar para orator dapat meraih kemuliaan dan kemenangan meski dengan sedikit kecurangan. Pelatihan Sophist tentang rhetorika memang sangat praktis, tetapi tidak disusun secara telitik sebaliknya, Aristotle mengangkat rhetoric sebagai ilmu dengan mengeksplorasi secara sistematis efek speaker, the speech, dan the audience.

RHETORIC: MAKING PERSUASION PROBABLE
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai penemuan dalam setiap kasus “sarana persuasif yang tersedia.”. ada 3 klasifikasi situasi pidato berdasarkan sifat khalayak, yaitu :
1.      Courtroom speaking (forensic), yaitu hakim yang mencoba membuat keputusan yang adil tentang tindakan yang diduga telah terjadi di masa lalu.
2.      Ceremonial speaking (epideictic), yaitu menumpuk pujian atau menyalahkan yang lain untuk kepentingan hadirin saat ini
3.      Political speaking (deliberative), yaitu usaha mempengaruhi Legislator atau pemilih yang memutuskan kebijakan masa depan.

RHETORICAL PROOF: LOGOS, ETHOS, PATHOS
Menurut Aristoteles, sarana persuasif yang tersedia bisa artistik atau inar-tistic. Ada tiga jenis bukti artistik :
1.      Logis (logos)               : Bukti logis, yang berasal dari garis argumen dalam sebuah pidato
2.      Etis (etos)                    : cara karakter speaker terlihat melalui pesan.
3.      Emosional (pathos)     : Bukti emosional, yang berasal dari perasaan yang diucapkan oleh pidato dari mereka yang mendengarnya

Logical Proof: Lines of Argument That Make Sense
            Aristoteles memusatkan perhatian pada dua bentuk logos yaitu, the enthymeme dan the example.
o   The Enthymeme          : Versi lengkap dari silogisme deduktif formal yang dibuat dengan meninggalkan premis yang telah diterima oleh audiens atau dengan meninggalkan kesimpulan yang jelas tanpa menyebutkan.
o   The Example   : untuk memperkuat pembuktian–pembuktian sebelumnya lalu diberikan contoh-contoh itu.

ETHICAL PROOF: PERCEIVED SOURCE CREDIBILITY 

Menurut Aristoteles, tidak cukup untuk sebuah pidato mengandung argumen yang masuk akal saja, tapi pembicara juga harus terlihat kredibel. Banyak tayangan pemirsa terbentuk sebelum pembicara dimulai. Dalam Retorika, ia menyebutkan tiga kualitas yang membangun kredibilitas sumber yang tinggi — Intelligence  (kecerdasan), character (karakter), dan goodwill (niat baik).
1.      Perceived Intelligence (Kecerdasan yang dirasakan)
Audiens menilai kecerdasan dengan tumpang tindih antara keyakinan mereka dan ide-ide pembicara.
2.      Virtuous Character (karakter yang berbudi luhur)
Karakter ada kaitannya dengan gambar pembicara sebagai orang yang baik dan jujur.
3.      Goodwill (Niat Baik)
Penilaian positif dari niat pembicara / speaker terhadap penonton.

Emotional Proof: Striking a Responsive Chord
Aristoteles memahami bahwa retorika publik, jika dipraktekkan secara etis, menguntungkan masyarakat. Akhirnya, Aristotle menetapkan sebuah teori tentang pathos.
1.      Anger versus Mildness
Diskusi Aristoteles mengenai anger (kemarahan), adalah versi dari hipotesis frustration-aggression dari Freud. Orang akan marah jika mereka dihalangi dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka akan marah jika diingatkan kelalaian interpersonal. Jika si penghalang menyesal, pantas menerima pujian, atau memiliki kekuasaan, maka khalayak / penonton akan tenang.

2.      Love or Friendship versus Hatred     
Aristoteles menganggap persamaan sebagai kunci kehangatan satu sama lain. Speaker haruslah menunjukkan tujuan, pengalaman, perilaku dan semangat mereka. Ketika tidak ada persamaan dengan khalayak, musu bersama dapat digunakan untuk menciptakan solidaritas.
3.      Fear versus Confidence
Ketakutan berasal dari gambaran mental potensi bencana. Pembicara / speaker harus melukiskan gambaran kata yang jelas tentang tragedi itu, yang menunjukkan bahwa kejadiannya mungkin terjadi. Keyakinan dapat dibangun dengan menggambarkan bahaya sebagai remote.
4.      Indignation versus Pity
Semua manusia punya rasa keadilan. Mudah menggerakan rasa ketidakadilan dengan menggambarkan kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan atas orang-orang yang tidak berdaya.

5.      Admiration versus Envy
Orang-orang mengagumi kebajikan moral, kekuasaan, kekayaan, dan keindahan. Dengan menunjukkan bahwa seseorang telah memperoleh barang-barang kehidupan melalui kerja keras dan bukan hanya keberuntungan, kekaguman akan meningkat.

THE FIVE CANONS OF RHETORIC
1.      Invention         : Pembicara atau speaker adalah "Pemburu" untuk argumen yang akan efektif dalam pidato tertentu.

2.      Arrangement   : pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristotle menyebutnya Taxis yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis, yaitu : pengantar, pernyataan, argument, dan epilog. Menurut Aristotles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos) dan menjelaskan tujuan.


3.      Style                 : Aristotles mengatakan agar menggunakan bahasa yang tepat, benar dan dapat diterima, pilih kata-kata yang jelas dan langsung, sampaikan kalimat yang indah, mulai, dan hidup, dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak dan pembicara.

4.      Delivery           : Pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Disini acting sangat berperan. Pembicara harus memperhatikan suara dan gerakan-gerakan anggota badan.


5.      Memory           : Pembicara harus meningat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaranya. Aristotles menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan.

Comments

Popular posts from this blog

CHAPTER 20 : The Cultural Approach (Pendekatan Antar Budaya)

FUNCTIONAL PERSPECTIVE ON GROUP DECISION MAKING

CONTOH KASUS PERUSAHAAN (CHAPTER 21: CRITICAL THEORY OF COMMUNICATION IN ORGANIZATIONS)